Latest News

Selasa, 05 November 2013

Misteri Jokowi Menjadi Capres PDIP

13836922121831899413

Misteri Jokowi Menjadi Capres PDIP


Ketika pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP September 2013 lalu Jokowi batal ditetapkan sebagai bakal calon presiden, kubu pendukung Jokowi mulai gelisah dan bertanya - tanya mengenai kepastian masa depan Jokowi sebagai calon presiden (capres). Kegelisahan kelompok pro Jokowi ini wajar karena mereka tidak melihat tanda - tanda Megawati selaku Ketua Umum PDIP dan pemegang hak prerogatif penentu tunggal nama bakal capres yang diusung PDIP pada pilpres 2014 dengan mudah dan pasti akan menetapkan nama Jokowi. Karena ketidakpastian sikap Megawati itu, berbagai cara dilakukan mereka untuk memaksakan kehendaknya untuk menekan Megawati. Cara yang paling efektif menurut kubu pendukung Jokowi ini adalah dengan menciptakan dan menggiring opini yang mengesankan bahwa Joko Widodo, nama sebenarnya Jokowi, sebagai capres yang paling tepat, paling unggul, paling disukai rakyat, paling favorit, paling besar kemungkinan menang, paling dicintai rakyat dan sejuta paling lainnya.

Namun usaha pendukung Jokowi tersebut sia - sia belaka. Megawati bergeming dan tetap teguh pada pendiriannya bahwa penetapan capres dari PDIP akan diputuskannya pada saat yang tepat. Sikap tegas Megawati ini membuat para pendukung Jokowi mengatur strategi baru yang berbeda dengan sebelumnya. Mereka sadar jika Megawati ditekan atau dilawan secara frontal maka akan berakibat fatal dan menyebabkan rencana pencapresan Jokowi melalui PDIP gagal total.

Salah satu stragegi baru yang dilakukan pendukung Jokowi adalah melalui pendekatan pribad yang intens dilakukan Jokowi sesuai saran dari pendukungnya. Jokowi mulai rajin mengujungi Megawati ke rumahnya, membawa makanan sebagai pemikat dan menunjukan sikap manis layaknya sebagai kader PDIP  dan loyalis Bu Mega yang baik. Pendekatan dengan diplomasi makanan ini ternyata tidak meluluhkan hati Megawati yang kian mencurigai niat baik Jokowi dan para pendukungnya itu.
Jokowi dan para pendukungnya lupa bahwa yang mereka hadapi adalah Megawati, mantan presiden, politisi penuh pengalaman, sudah mengalami pahit getir tipu daya dari semua jenis musuh, dan memiliki kemampuan menilai karakter seseorang. Sebagai politisi paripurna, Megawati sudah kenyang asam garam menghadapi strategi politik yang dilancarkan kawan maupun lawan. Megawati bukanlah seorang perempuan biasa, intuisi politiknya yang tajam telah menyelamatkan dirinya dari segala ancaman dan tantangan selama 30 tahun berkecimpung di dunia politik.

Ambisi luar biasa besar yang ditunjukan Jokowi untuk menjadi presiden menjadi perhatian khusus dan penilaian negatif di mata Megawati. Dengan gaya bahasa dan tutur katanya yang khas, Megawati sering menyindir Jokowi yang dinilaimya hanya sebagai boneka pihak tertentu. Megawati pernah menyindir Jokowi karena memberi ruang yang besar kepada para penumpang gelap saat pilkada gubernur DKI Jakarta 2012 lalu. Di mata Megawati, Jokowi bukanlah seorang kader yang loyal kepada partai atau dirinya. Ketidakloyalan Jokowi kepada PDIP dan Megawati sebenarnya sudah terbukti ketika Jokowi mendatangi Megawati untuk minta izin maju sebagai calon gubernur di pilkada DKI Jakarta. Padahal, saat itu Jokowi sudah dipersiapkan sebagai calon gubernur di pilkada Jawa Tengah. Megawati merasakan ketidaknyamannya saat Jusuf Kalla mati-matian membujuknya untuk bersedia menyetujui Jokowi sebagai calon gubernur DKI Jakarta sementara PDIP  saat itu sudah memutuskan Adang Ruchiatna.

Sikap Megawati yang ‘mengeras’ terhadap Jokowi mengharuskan para pendukung dan pemilik modal di balik kesuksesan Jokowi dalam pilkada DKI Jakarta mulai memikirkan plan B, C dan seterusnya. Sulit bagi mereka untuk bisa memastikan PDIP bakal mengusung Jokowi sebagai capres. Janji - janji bahwa Jokowi jika didukung PDIP sebagai capres pasti akan menang,  PDIP pasti semakin besar dan menjadi partai penguasa tidak mampu melemahkan sikap Megawati yang memang terkenal teguh pertahankan pendiriannya. Jika Megawati pada akhirnya nanti tidak juga memberi restu pada Jokowi, maka mimpi mereka semua untuk menikmati kekuasaan jika Jokowi terpilih akan pupus musnah.

Kelicikan kubu Jokowi makin tersingkao ketika mereka terutama para elit PDIP secara terburu - buru mengkampanyekan duet Jokowi - Prananda sebagai capres dan cawapres yang digadang - gadang dan akan diusulkan kepada Megawati. Mereka tidak sadar bahwa tindakan mereka tersebut semakin memperbesar kejengkelan Megawati karena sosialisasi masif duet Jokowi - Prananda tidak ubahnya sama saja dengan memecah belah dan merusak harmonisasi keluarga Megawati. Prananda yang tidak punya minat dan bakat di dunia politik sangat kentara dipaksakan kemunculannya dan merusak tatanan politik yang sudah lama dibangun dan dijaga Megawati.

Seolah - olah belum cukup puasa menyinggung dan menyakiti hati Megawati, para elit senior di PDIP yang ngotot mencapreskan Jokowi, kini menyerang Puan Maharani, putri Megawati sendiri. Sabam Sirait secara terbuka berani menyimpulkan bahwa Puan tidak layak jadi calon presiden. Sabam lupa bahwa posisi Puan sebagai Ketua Fraksi PDIP di DPR saat ini sebenarnya merupakan bukti nyata bahwa Puan Maharani adalah figur yang sedang dipersiapkan sebagai penerus tongkat estafet kepemimpinan PDIP ketika Megawati pada saatnya nanti menyatakan mundur sebagai Ketum PDIP. Logika politik yang dibangun Sabam Sirait cs sangat lemah melalui pernyataannya mengenai ketidakpantasan Puan tersebut. Jika Puan yang sudah lama dipersiapkan, dikader, ditempa dan didik langsung oleh Megawati dan tokoh - tokoh senior di PDIP dinilai tidak layak sebagai capres, kenapa Sabam malah mendukung Prananda Prabowo yang sama sekali buta dan ‘newbie’ di panggung politik sebagai cawapres untuk Jokowi ? Tindakan Sabam Sirait ini merupakan blunder dan kesalahan besar yang hanya mungkin terjadi karena pikiran sehatnya sudah hilang tertutup ambisinya untuk menjadikan Jokowi sebagai presiden.

Fenomena Jokowi yang terjadi saat ini bukanlah magnet utama bagi sebagian elit dan kader PDIP untuk mendukung Jokowi habis - habisan sebagai capres sehingga berani melawan Megawati secara terbuka. Magnet yang sebenarnya adalah tawaran yang sangat menggiurkan dari para pemilik modal yang berani memastikan bahwa Jokowi pasti terpilih dengan dukungan jaringan media, uang kampanye dan pemenangan Jokowi yang tidak terbatas, kesempatan untuk mendapatkan bagian kursi kekuasaan serta keuntungan politik dan finansial lain yang pasti diraih mereka jika Jokowi jadi presiden.

Megawati sadar sepenuhnya bahwa melonjaknya electabilitas dan popularitas PDIP erat kaitannya dengan figur Jokowi yang diindentikan dengan PDIP. Meski Megawati tidak suka dan tidak menyetujui pencapresan Jokowi, namun Megawati tidak menyatakannya sscara terbuka. Mungkin Mega masih memberi kesempatan kepada Jokowi agar lebih jujur terhadap dirinya dan lebih fokus untuk menjalankan tugas dan kewajibannya selaku Gubernur DKI Jakarta yang baru setahun diembannya. Belum ada prestasi Jokowi sebagai Gubernur Jakarta yang bisa dinilai secara rasional. Prestasi - prestasi Jokowi yang diagung - agungkan media massa dan tim soraknya, semuanya masih artifisial alias prestasi semu yang tidak dikenal dalam parameter baku / standar sebagai tolak ukurnya. Belum terlihat bagaimana kinerja atau pencapaian Jokowi pada peningkatan kesejahteraan warga DKI, mengatasi kemacetan, banjir, penataan kota yang lebih baik, pelayanan publik yang meningkat kualitasnya, pengurangan angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, penyandang masalah sosial dan prioritas pemenuhan kepentingan wong cilik yang menjadi PDIP dan Megawati selama ini.
Bahkan Megawati mungkin sepahama dengan para pengamat yang secara objektif melihat Jokowi belum memenuhi sebagian besar janji - janji kampanye saat pilkada tahun 1012 lalu. Megawati boleh jadi lebih cerdas dan cermat menilai bahwa Jokowi selama menjadi Gubernur DKI lebih banyak menghabiskan waktunya untuk pencitraan dirinya sendiri dibanding bekerja serius sebagai seorang Gubernur.

Keteguhan sikap Megawati yang menempatkan kepentingan bangsa, negara, rakyat dan partainya menjadi faktor utama kehati - hatiannya memberikan dukungan kepada Jokowi. Megawati paham bahwa sekali dia salah dalam mengambil keputusan, maka nasibnya, nasib kekuarganya dan nasib partainya akan sama seperti nasib Prabowo atau Jusuf Kallla yang sudah terlebih dahulu dikhianati Jokowi. Jika terhadap kedua tokoh yang sudah berjasa besar terhadap dirinya sendiri,  Jokowi tega khianati, lupa diri dan lupa jasa, maka tidak ada jaminan Jokowi akan tetap loyal kepada Megawati jika sudah terpilih menjadi presiden nanti. Membesarkan Jokowi sama saja membesarkan anak macan yang ketika lapar akan memangsa manusia yang telah memelihara dan menghidupinya. (By Raden Nuh)

Source : politik.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar